Sang Bapak Republik yang Terlupakan
@Cipto Kuswinadi
Pengajar SPENSA Moker Jawa Timur
Jika anda ditanya siapa yang disebut bapak proklamator atau siapa bapak Pembangaunan pasti menjawab dengan cepat tapi jika ditanya siapa yang dijuluki bapak republik pasti kesulitan . Berikut ini saya akan membahas sosok bapak republik yang terlupakan
Sosok Tan Malaka adalah salah satu enigma terbesar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pemikirannya yang radikal, visinya yang jauh ke depan, dan dedikasinya yang tanpa kompromi terhadap kemerdekaan bangsa menjadikannya figur yang unik dan kontroversial. Meskipun kontribusinya sangat signifikan dalam menanamkan benih-benih perlawanan terhadap kolonialisme dan gagasan republik, namanya seringkali luput dari sorotan utama sejarah nasional. Artikel ini bertujuan untuk mengupas lebih dalam tentang kehidupan, pemikiran, dan peran Tan Malaka sebagai salah satu “bapak pendiri republik” yang mungkin terlupakan.
Masa Muda dan Pendidikan :
Dilahirkan dengan nama Ibrahim yang kemudian di beri gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1897. Ia berasal dari keluarga bangsawan Minangkabau yang terpandang . Pendidikan awalnya ditempuh di sekolah desa dan kemudian melanjutkan ke Kweekschool (sekolah guru) di Bukittinggi. Kecerdasannya yang menonjol membawanya mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial Belanda untuk melanjutkan studi di Rijksnormaalschool (sekolah guru negara) di Haarlem, Belanda, pada tahun 1913.
Pengalaman di Eropa membuka cakrawala pemikirannya. Ia berinteraksi dengan berbagai ideologi dan gerakan politik yang berkembang pesat saat itu, termasuk sosialisme dan komunisme. Perang Dunia I dan Revolusi Rusia memberikan pengaruh yang mendalam pada pandangan dunianya. Ia mulai menyadari ketidak adilan sistem kolonial dan terinspirasi oleh semangat perjuangan kelas dan nasionalisme.
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1919, Tan Malaka tidak langsung terjun ke politik praktis . Ia memilih untuk menjadi guru di perkebunan Teh Siantar, Sumatera Utara. Pengalaman berinteraksi dengan kaum buruh perkebunan yang tertindas membangkitkan kesadaran sosialnya dan memperkuat keyakinannya akan perlunya perubahan mendasar dalam struktur masyarakat kolonial.
Terjun ke Dunia Pergerakan :
Pada tahun 1921, Tan Malaka mulai aktif dalam Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi massa Islam yang pada awalnya bergerak di bidang ekonomi dan sosial namun kemudian berkembang menjadi gerakan politik . Keberaniannya dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah kolonial dan gagasan-gagasan radikalnya membuatnya cepat menonjol. Ia menjadi salah satu pemimpin SI Merah , yaitu sayap kiri SI yang berhaluan komunis.
Pemikiran Tan Malaka semakin matang dan terstruktur. Ia mengembangkan konsep “Massa Actie” (Aksi Massa) sebagai strategi perjuangan melawan kolonialisme. Menurutnya, kemerdekaan tidak akan datang sebagai hadiah dari penjajah, melainkan harus direbut melalui mobilisasi dan aksi kolektif seluruh rakyat. Ia menekankan pentingnya persatuan antara kaum buruh dan tani sebagai kekuatan revolusioner.
Visi Tan Malaka tentang Indonesia merdeka jauh melampaui sekadar terbebas dari penjajahan . Ia membayangkan sebuah republik yang berdaulat, adil, dan makmur, di mana tidak ada lagi penindasan dan eksploitasi. Ia juga memiliki pandangan internasionalis, percaya bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari perjuangan global melawan imperialisme.
Pengasingan dan Perjuangan Bawah Tanah :
Aktivitas politik Tan Malaka yang semakin radikal membuatnya berhadapan langsung dengan pemerintah Kolonial . Pada tahun 1922, ia ditangkap dan kemudian diasingkan dari Indonesia. Pengasingan ini tidak mematahkan semangatnya. Ia terus bergerak dari satu negara ke negara lain, menjalin kontak dengan gerakan-gerakan revolusioner internasional dan menyebarkan gagasan tentang kemerdekaan Indonesia.
Selama masa pengasingannya, Tan Malaka tinggal di berbagai negara seperti Belanda, Jerman, Rusia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Ia menggunakan berbagai nama samaran ( Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera , Hasan Gozali, Tan Ho Seng ) hal ini dilakukan untuk menghindari kejaran intelijen kolonial . Meskipun jauh dari tanah air, ia terus memantau perkembangan pergerakan kemerdekaan di Indonesia dan berusaha memberikan kontribusi pemikiran dan strategi.
Salah satu karya monumentalnya selama masa pengasingan adalah buku “Naar de Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia) yang ditulis pada tahun 1925. Dalam buku ini, ia secara jelas mengartikulasikan visinya tentang negara republik Indonesia, jauh sebelum gagasan ini menjadi arus utama dalam pergerakan nasional. Ia membahas berbagai aspek negara yang dicita-citakannya, termasuk bentuk pemerintahan, sistem ekonomi, dan struktur sosial.
Pada tahun 1926, terjadi pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang gagal. Meskipun Tan Malaka tidak terlibat langsung dalam pemberontakan ini, pemerintah kolonial menggunakan peristiwa ini sebagai alasan untuk semakin memperketat pengawasan terhadap gerakan-gerakan radikal dan memburu para pemimpinnya, termasuk Tan Malaka.
Setelah pemberontakan PKI, Tan Malaka menyadari perlunya persatuan yang lebih luas dalam perjuangan kemerdekaan. Ia kemudian mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) pada tahun 1927 di Bangkok. PARI bertujuan untuk menyatukan berbagai elemen gerakan nasional dengan platform perjuangan kemerdekaan Indonesia yang radikal dan anti-kolonial.
Kembali ke Tanah Air dan Akhir yang Tragis :
Setelah puluhan tahun hidup dalam pengasingan dan bergerak di bawah tanah, Tan Malaka secara diam-diam kembali ke Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Ia menggunakan berbagai identitas palsu dan terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain, berusaha membangun kembali jaringan perjuangan dan mempersiapkan diri menghadapi perubahan politik pasca-Perang Dunia II.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 disambut dengan antusias oleh Tan Malaka. Namun, ia memiliki pandangan yang berbeda mengenai strategi mempertahankan kemerdekaan. Ia mengkritik diplomasi dengan Belanda dan menyerukan perjuangan bersenjata total untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, Tan Malaka mendirikan Persatuan Perjuangan (PP), sebuah Front persatuan berbagai organisasi dan tokoh yang menolak diplomasi dengan Belanda dan menyerukan “Perang Rakyat Semesta”. Pemikirannya yang radikal dan sikapnya yang keras membuatnya berseberangan dengan sebagian pemimpin Republik yang memilih jalur diplomasi.
Akhir hidup Tan Malaka penuh dengan misteri dan kontroversi. Ia ditangkap oleh tentara Republik di Kediri, Jawa Timur, pada tahun 1949. Tanggal pasti dan rincian kematiannya tidak pernah terungkap secara jelas. Beberapa sumber menyebutkan ia dieksekusi tanpa pengadilan, sementara yang lain mengatakan ia tewas dalam pertempuran.
Jejak yang Tak Terhapuskan
Meskipun akhir hidupnya tragis dan namanya sempat terpinggirkan dari sejarah resmi, warisan pemikiran dan kontribusi Tan Malaka terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak dapat diabaikan. Ia adalah salah satu pemikir politik paling orisinal dan radikal pada masanya. Visinya tentang republik Indonesia yang berdaulat dan berkeadilan sosial jauh mendahului zamannya.
Konsep “Massa Actie” (Aksi Massa) yang dikembangkannya memberikan inspirasi bagi gerakan-gerakan perlawanan rakyat di berbagai daerah. Ia menekankan pentingnya persatuan dan mobilisasi seluruh kekuatan rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Buku “Naar de Republiek Indonesia” menjadi salah satu tonggak penting dalam perkembangan gagasan tentang negara republik.
Tan Malaka juga merupakan seorang internasionalis yang gigih. Ia memahami bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari perjuangan global melawan imperialisme dan kolonialisme. Ia menjalin hubungan dengan gerakan-gerakan revolusioner di berbagai negara dan berusaha membangun solidaritas internasional.
Meskipun namanya tidak setenar Soekarno atau Hatta, Tan Malaka memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan benih-benih perlawanan dan gagasan republik di kalangan pergerakan nasional. Pemikirannya yang radikal dan visinya yang jauh ke depan memberikan arah dan semangat bagi perjuangan kemerdekaan.
Pengakuan dan Relevansi di Masa Kini
SetelahReformasi, mulai muncul upaya untuk merehabilitasi nama Tan Malaka dan mengakui kontribusinya terhadap sejarah Indonesia. Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tan Malaka. Pengakuan ini merupakan langkah penting dalam meluruskan sejarah dan memberikan tempat yang layak bagi Tan Malaka dalam pantheon pahlawan bangsa.
Pemikiran-pemikiran Tan Malaka tentang kemandirian ekonomi, kedaulatan nasional, dan keadilan sosial tetap relevan hingga kini. Di tengah tantangan globalisasi dan ketidakadilan ekonomi, gagasan-gagasannya tentang persatuan rakyat dan perjuangan melawan segala bentuk penindasan dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia. Tan Malaka adalah contoh seorang intelektual revolusioner yang berani berpikir di luar kotak dan memiliki visi yang jauh ke depan. Dedikasinya yang tanpa kompromi terhadap kemerdekaan dan keadilan sosial menjadikannya salah satu tokoh paling penting dalam sejarah Indonesia. Meskipun sempat terlupakan, kini saatnya bagi bangsa Indonesia untuk kembali menelusuri jejak pemikirannya dan mengakui Tan Malaka sebagai salah satu “bapak pendiri republik” yang sejati.